Sabtu, 18 Agustus 2012

PERANG ACEH DI KUTA GLEE BATEE ILIEK BIREUEN

Teungku Cut Sa’id yang ato prang, ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle yang that meuceuhu, Yang to bak u dum meuribee
Dalam kuta gle yang that meusigak, Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree...

Itu sepenggal syair Aceh tentang kisah Kuta Gle. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30 tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen. Cerita tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan pejuang Aceh di Samalanga.

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.

Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.

Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah.

Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.

Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.

Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.

Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda. 


Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.

Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.

Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.

Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).

Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.

Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
(Divisi Pemberitaan Adelcom NGO).

SEJARAH BIREUEN (KOTA JUANG) DAN JULI

Asal Muasal Sebutan Bireuen 
Sebagai Kota Juang.

Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Disini kita secara jelas dapat melihat bahwa Pemerintah Republic Indonesia sudah berusaha menghapus sejarah kemerdekaan Republik ini, padahal jasa Aceh untuk kemerdikaan RI  merupakan titik penentu, padahal tanpa Aceh, RI harus menghapus sejarahnya terhadap Proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perlu saudara ketahui, kejadian ini tidak pernah ada dalam catatan/tersurat dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, padahal jika Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tanpa adanya perjuangan bangsa Aceh maka catatan Proklamasi kemerdekaan Rebublik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak pernah bermakna.

Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor DivisiX dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.

Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel HusseinJoesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat danTanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagaipusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.

Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasan tank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua Kabupaten Bireuen.

Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua Kabupaten Bireuen, Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht) di Keude dua Juli inilah sebagai cikal bakal AKABRI sekarang.